Petani itu manusia tahan banting
Petani itu manusia tahan banting
Indonesia adalah negara agraris. Istilah agraris mengacu kepada mayoritas profesi di Indonesia yaitu petani. Gelar kehormatan ini mampu dipertahankan puluhan bahkan ratusan tahun oleh bangsa ini, tapi sesuai dengan sensus pertanian tahun 2015 menyatakan bahwa profesi pertanian turun drastis.
Di Kabupaten Subang, sesuai yang saya baca di web subang.go.id mengklaim bahwa mayoritas warga Subang adalah petani, apakah benar demikian?.
Admin sedang mikul pohon padi yang selesai di arit untuk dikumpulkan. Foto jepretan Minggu 08 Mei 2016.
Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang, sekaligus merupakan penyumbang / kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Luas lahan sawah pada tahun 2012 tercatat seluas 84.929 hektar atau sekitar 41,39% dari total luas wilayah Kabupaten Subang. Sementara jumlah produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Subang pada tahun 2012 yaitu 1.184.010 ton.
Kemudian kenapa saya menyebut petani itu manusia tahan banting?, berikut ulasannya.
Masalah pertanian sebenarnya secara umum juga dialami oleh para petani di seluruh Indonesia. Pertama adalah pada masa tanam. Pada masa tanam adalah masa paling krusial dari petani. Masalah yang timbul kebanyakan adalah masalah pupuk. Contoh pada tahun 2015, berita tentang kelangkaan pupuk pada musim tanam masih mendominasi berita pertanian di Kabupaten Subang.
Kelangkaan terjadi karena banyak sebab, diantaranya data yang tidak akurat dari pemangku kepentingan pupuk untuk digunakan sebagai acuan perencanaan pengadaan pupuk bersubsidi. Selain itu juga terdapat pelanggaran hukum seperti penyelundupan dan penimbunan sehingga pupuk langka. Petani sangat dirugikan dengan kelangkaan pupuk ini, karena harga produksi akan membengkak akibat harus mengeluarkan uang ekstra untuk menebus pupuk.
Masalah selanjutnya adalah pasca panen. Petani, juga membutuhkan proteksi pasar dari pemerintah. Sudah umum, bahwa harga saat panen akan sangat jatuh. Ini merugikan petani. Saya tidak tahu pasti darimana sebenarnya Harga acuan padi per kilogramnya karena tidak ada data yang tersedia.
Memanen padi dengan diarit. Perlu biaya pengupahan kerja
Masalah yang lain yaitu petani harus bersaing dengan industri lain. Banyak petani yang harus merelakan sawahnya untuk dialihfungsikan sebagai lahan industri lainnya. Padahal negara ini adalah negara agraris, sudah sepantasnya mengutamakan industri pertanian. Lahan pertanian harus diproteksi dari godaan-godaan industri lainnya.... Betul tidak?.
Merontokan padi dengan mesin perontok. Ini juga perlu biaya tambahan untuk sewa mesin perontok.
Masalah lain yaitu, misalnya buruh menuntut gaji naik maka dengan mudah mereka melakukannya. Mereka tinggal demonstrasi didepan pemerintah maupun DPR dan kemudian dengan cepat pemerintah mengabulkan keinginannya. Buruh ketika demo, mereka sudah membawa data yang matang sehingga tuntutannya tidak mudah dipatahkan. Petani ketika demo tidak membawa data, hanya membawa keluhan, dan keluhan itu dengan mudah dapat dipatahkan dengan angka-angka statistik milik pemangku kepentingan lainnya.... #Duh, nasib petani....
Memindahkan gabah dari tengah sawah ke pinggir jalan.
Ini juga perlu biaya upah pikul.
Nah, meskipun dengan masalah-masalah diatas apakah petani berhenti produksi?. Para petani kita tetap dengan senyum ikhlasnya setiap pagi pergi kesawah untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pangan Republik Indonesia, walaupun dikepung oleh industri-industri modern mereka tetap semangat dan ulet mengolah tanah. Maka pantas disematkan sebagai manusia tahan banting bagi petani.
Semoga saja di Tahun ini pertanian Subang kian mantab....